Kamis, 12 Juli 2007

Membangun Sinergi Memperbaiki Umat

Selama lebih dari tujuh abad, menurut catatan sejarah, dahulu Islam pernah menguasai peradaban dunia. Hampir dua pertiga wilayah di Bumi ada dalam genggaman kekhalifahan Islam. Ada begitu banyak ulama dan ilmuwan Muslim menjadi pelopor pengembangan iptek, mulai dari ilmu kimia, fisika, kedokteran, botani, matematika, astronomi, sejarah, geografi, ekonomi (perdagangan), filsafat dan metafisika sampai teknik dan strategi peperangan. Bahkan perguruan tinggi pertama di dunia tidak lahir di Eropa, Asia atau Amerika, melainkan di Afrika Utara. Namanya, Universitas Qarwin (Jamiah Al-Qarwin) yang lahir dan berkembang dari lingkungan masjid di kota Faz, Maroko.
Sayangnya, setelah era kekhalifahan melemah mulai abad ke-15 dan akhirnya runtuh pada awal abad ke-20, kita menyaksikan gambaran yang amat kontras. Kondisi mayoritas umat Muslim saat ini jauh berbeda dengan karakteristik yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran. Ditinjau dari segi kemajuan materi duniawiyah, umat ini tampak berada di belakang umat-umat lain. Secara politik, ekonomi, militer dan pendidikan harus diakui kita masih jauh tertinggal dan terbekalang. Jauh dari gambaran umat terbaik (khairo ummah).
Lihatlah, secara politik negara-negara Islam dan atau yang berwarga mayoritas Muslim belum menjadi kekuatan yang mandiri. Kebanyakan masih amat tergantung dan menggantungkan diri pada kedaulatan negara lain. Dari waktu ke waktu, negara-negara Islam yang membentang dari Maroko sampai Merauke jatuh ke tangan bangsa asing. Sebagian lain kini malah sudah tunduk seperti budak dan terpedaya oleh jebakan dan kungkungan semangat imperaliasme negara asing (baca Amerika Serikat dan sekutunya).
Secara ekonomi, negara-negara Islam sedang terpuruk pada tingkat yang paling menghinakan. Seolah tak bisa hidup tanpa pinjaman dan belaskasihan negara asing. Mereka umumnya masih dikendalikan dan berlindung di balik ketiak kapitalisme negara-negara sekoler. Ekonomi syariah, meski mulai menggeliat di sana-sini, belum apa-apa dibanding kekuatan ekonomi ribawi yang telah menggurita sejak lama.
Kondisi amat memprihatinkan juga terjadi di bidang pendidikan dan apalagi militer. Apa yang terjadi di Palestina, Afghanistan dan Irak adalah fakta yang tak terbantahkan betapa marginalnya kekuatan umat saat ini. Pengamat Paul Wilson dalam satu artikel di Mandurah Telegraph (Australia) pada 15 Oktober 2002 menyebut serangan ke Irak hanya ambisi para elite politik dunia untuk menguasai kolam-kolam minyak di Timur Tengah. Dia menyebut Perang Irak itu ambisi George Bush (Presiden AS), Tony Blair (PM Inggris) dan John Howard (PM Australia). Dengan dalih memerangi terorisme, Bush bisa melakukan apa saja, termasuk menghamburkan dana ratusan miyar dolar untuk membiayai Perang Irak. Target dan obsesi akhirnya adalah bisa menguasai kekayaan minyak senilai US$ 6 triliun di Teluk Kaspia.
Mengapa keterbelakangan, keterpurukan dan kehinaan itu menimpa umat Islam? Semuanya --meminjam istilah Yusuf Qardhawi dalam buku Ainal Khalal (Dimana Kerusakannya)-- dapat dikatakan bermuara pada sifat dan karakteristik umat yang lupa diri. Tugas dan amanah dakwah untuk ber-amar ma'ruf dan nahi munkar yang menjadi prasyarat utama untuk meraih predikat khairo ummah banyak ditinggalkan. Aneka kemungkaran dan kemaksiatan dibiarkan karena sebagian orang melihat yang munkar itu ma'ruf, yang ma'ruf itu munkar. Yang haram dikira halal, yang halal disangka haram. Yang sholeh dibilang salah, yang bathil dikira betul. Ada gejala yang terjadi adalah amar munkar dan nahi ma'ruf, bukan amar ma'ruf dan nahi munkar sebagaimana mestinya.
Prof Dr Ismaun MPd, dosen Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI Bandung dan Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA (UHAMKA), berpendapat ada beberapa faktor penyebab kemunduran dunia Islam. Pertama, adanya kejumudan dari sebagian ulama yang berpendapat bahwa ijtihad telah tertutup. Pendirian ini melahirkan sikap memutlakan pendapat para imam ulama mazhab. Kedua, runtuhnya kekuasaan dunia Islam yang berdampak negatif terhadap dunia pendidikan. Keadaan ini ditandai oleh sepinya kegiatan ilmiah yang mendorong semangat peserta didik untuk melakukan penelitian dan percobaan. Mimbar-mimbar ilmiah tak berfungsi sebagai mana mestinya. Lembaga pendidikan Islam gagal menjalankan fungsi sebagai pusat pembibitan kader ulama dan cendikiawan Muslim yang kritis, siap menghadapi tantangan dan perubahan zaman. Ketiga, dan merupakan faktor terbesar yang menjadi sebab mundurnya dunia Islam, adalah hilangnya ruh atau semangat jihad, serta hilangnya cahaya (nur) Islam di dada kaum Muslim, termasuk kalangan penguasa.
Sejatinya, dalam berbagai ayat dan hadis, umat ini diminta bersatu dan jangan bercerai-berai, yang terjadi justru sebaliknya. Konflik, perselisihan dan pertentangan terjadi dimana-mana, bahkan antarsesama muslim. Konflik kepentingan masih sering terjadi antarormas dan antarparpol Islam. Sebagian kelompok umat ini agaknya lebih suka berlemah-lembut dengan umat lain, sementara dengan sesama dia malah senang berbuat keras dan kasar. Mereka suka bergandengan tangan dengan umat lain, sementara pada saat yang sama dia malah suka menyikut dan menginjak kaki saudara sendiri. Aib saudaranya diumbar, sementara tipudaya musuh malah didukungnya erat-erat.
Kita –seperti firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 143-- adalah umat pertengahan, tidak condong ke kiri, tidak juga terlalu ke kanan. Kita di tengah-tengah sebagai saksi kebenaran dan penegak keadilan. Faktanya, kini banyak di antara kita yang lupa pada posisi tengahnya. Acapkali dia goyah dan tergoda untuk miring ke kiri dan ke kanan. Adakalanya condong kemana angin bertiup. Sebentar dia menjadi buntut kepentingan Barat. Sebentar lain dia menjadi ekor pihak Timur. Dia melenceng dari jalan lurus, selangkah demi selangkah mengikuti milah mereka.
Sepertinya umat Islam telah melupakan Allah dan jalan menujuNya, lalu Allah melupakan dia dan dia sendiri lupa akan dirinya sendiri. Ini telah diisyaratkan oleh firman Allah dalam Al-Hasyr 19: ''Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah melupakan dia pada diri mereka sendiri.''
Lupa diri? Memang itulah yang sedang menimpa umat ini. Ummat Islam sesungguhnya besar dan punya potensi kekuatan yang amat dahsyat. Sayangnya, kekuatan itu tidak dimanfaatkan dan disia-siakan karena kita lupa diri. Kita lupa akan potensi kekuatan sendiri yang teramat besar itu.
Kekuatan akal kita anggurkan karena kita lebih suka seperti beo yang hanya senang meniru tanpa makna. Kita tidak kreatif, tidak suka mencipta sendiri, lebih senang menghapal ketimbang berpikir, lebih senang mengutip pikiran orang ketimbang ketimbang mengasah kemampuan nalar sendiri. Kita lebih suka mengimpor dan memakai produk asing, meski tanah kita sendiri subur dan produktif.
Menurut statistik populasi umat Islam di dunia ini mencapai lebih dari 1,2 miliar. Jumlah yang jauh lebih besar ketimbang Yahudi yang tidak sampai 10 juta. Ironisnya, jumlah yang banyak itu bisa tak berdaya melawan hegemoni zionisme. Itu terjadi karena kita lupa diri. Jumlah yang besar tidak bermakna jika kita berjalan sendiri-sendiri. Kita sudah terlalu lama melupakan kekuatan jamaah. Benar kata sahabat, kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan dari orang banyak yang bercerai-berai.
Kekuatan amal dan spiritual kita juga dianggurkan, padahal Allah --melalui para salafusshalih-- telah pernah menghangkat harkat dan martabat umat ini ke puncak peradaban dunia lebih dari tujuh abad lamanya. Sungguh Allah telah mencipta kita untuk bekerja dan berkarya agar kelak kita bisa melihat siapa yang terbanyak amal baiknya. Setiap muslim, tegas Yusuf Qardhawi, dituntut tetap bekerja dan berupaya sampai akhir hayat untuk melahirkan generasi idaman. Rasululllah SAW mengajarkan kita untuk terus menanam tunas pohon yang ada di tangan sesegera mungkin, meskipun kiamat sudah dekat.
Generasi idaman hanya mungkin lahir dari rahim pendidikan (pembinaan) yang panjang dan terus-menerus. Di sinilah, seperti kata Abul A’la Al-Maududi, umat Muslim penting mendesain masa depannya melalui sistem pendidikan yang baik. Satu sistem pendidikan yang bisa mewariskan nilai-nilai ajaran Islam secara paripurna ke setiap peserta didik dan komunitas di sekitarnya. Al-Maududi secara khusus menekankan pentingnya pendidikan untuk menanamkan rasa cinta pada Allah dan pokok-pokok ajaran Islam bagi kalangan mahasiswa dan umat Muslim umumnya. Tak bisa dipungkiri, umat Islam harus merasa terpanggil untuk mempelajari seluruh bidang iptek, kemudian mengembangkan dan menerapkannya dalam bingkai keimanan. Pada saat yang sama harus dihindari kecenderungan umat untuk mengekor dan menganut cara berpikir non-Islam (ateis, kapitalis dan sekularis).
Agar pendidikan bisa menjadi sarana perbaikan dan kebangkitan umat, Abdurrahman An-Nahlawi menawarkan empat dasar konsep pendidikan Islami. Pertama, pendidikan harus dipandang sebagai kegiatan yang betul-betul memiliki tujuan dan sasaran yang jelas yakni dalam rangka membantu menunaikan tugas untuk beribadah dan berperan sebagai khalifah di muka bumi.
Kedua, pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah SWT. Dialah pencipta fitrah, pemberi bakat, pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan, dan interaksisunnah sebagaimana Dia pun mensyariatkan aturan untuk mewujudkan kesempurnaan, kemaslahatan dan kebahagiaan fitrah tersebut.
Ketiga, pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu perkembangan ke perkembangan lainnya.
Kaidah keempat, peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakannya, yakni dalam rangka ibadah dan menjalankan fungsi khalifah di bumi sesuai sunatullah dan syariat Allah. Dengan demikian, pendidik harus mampu mengikuti syariat agama Allah.
Menurut pandangan Abdurrahman An Nahlawi, kajian atas konsep pendidikan Islam mesti membawa kita pada konsep syariat dan agama karena, bagaimanapun, agamalah yang harus menjadi akar pendidikan kita. Artinya, seluruh tabiat manusia harus menunjukkan tabiat beragama, termasuk dalam lapangan pendidikan.
Dr Abdullah Nashih Ulwan, ahli pendidikan dari Suriah, membagi konsep dasar pendidikan dalam tujuh aspek tanggungjawab yang harus dipikul oleh para pendidik. Aspek-aspek itu meliputi pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik, pendidikan nalar (logika), pendidikan kejiwaan, pendidikan sosial, dan pendidikan seksual. Sedang menyangkut metode pendidikan, dia menawarkan lima model pendidikan, yakni dengan keteladanan, dengan adat kebiasaan, dengan nasihat (melalui seruan, cerita dan wasiat), dengan perhatian/pengawasan, dan dengan hukuman.
Semua aspek dan metode pendidikan sewajarnya dikerahkan agar peserta didik tumbuh menjadi generasi yang beriman, berilmu, bertanggungjawab, dan bertakwa. Ini juga sejalan dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan generasi yang beriman dan bertaqwa.
Pendidikan, dalam pandangan Islam, mesti dilihat sebagai bagian dari fungsi tarbiyah, dakwah dan harakah (gerakan). Melalui pola dan sistem pendidikan yang baik dan benar, setiap pribadi Muslim diharapkan secara sistematis dapat tertarbiyah sehingga terbentuk pribadi Muslim yang siap memikul amanah dakwah dan mampu menjadi agen harakah untuk perbaikan dan kebangkitan umat. Tiadanya perhatian yang layak terhadap fungsi pendidikan dan atau tarbiyah akan menyebabkan rendahnya tingkat pemahaman setiap individu akan tugas, fungsi dan perannya sebagai agen dakwah dan harakah. Individu yang lemah tidak akan mampu menjadi agen perubahan, salah-salah malah bisa menjadi beban yang akan menyita kekuatan amal dan efektivitas dakwah. Tarbiyah amat berpengaruh terhadap ketahanan anggota dalam menghadapi tantangan dan tuntutan amal (gerakan) di jalan dakwah. Ini berlaku pada saat kritis menghadapi tipu daya musuh maupun pada saat timbul tuntutan jihad, pengorbanan dan tuga-tugas dakwah dan harakah lainnya.
Mengacu pada sirah nabi dan para sahabat, belajar tidak harus melalui lembaga formal dalam bentuk sekolah atau madrasah permanen. Rasulullah SAW juga tidak memiliki pondok pesantren khusus untuk pendidikan atau memberi ceramah dan nasihat pada para sahabat dan umatnya. Meski begitu, majelis beliau amat luas, umum dan universal laksana hujan yang bisa turun di setiap tempat, serta memberi manfaat kepada orang-orang khusus maupun orang umum (awam). Dalam setiap tempat dan waktu, beliau adalah bisa berperan sebagai sahabat yang peduli, guru yang mumpuni, pelatih yang cekatan, pembimbing yang sabar, dan pemandu yang efektif, serta komandan yang perkasa.
Para sahabat yang menjadi generasi pertama binaan Rasulullah SAW adalah figur-figur yang selalu bersemangat mengejar kebaikan, sungguh-sungguh dan haus dalam mencari ilmu, mengembangkan, mengamalkan, mensyiarkan dan menyebarkannya. Untuk memberi motifasi kepada sahabat dan umat berikutnya, Nabi Muhammad SAW bersabda: ‘’Semoga Allah menjadikan muka berseri-seri kepada orang yang mendengar ucapan dariku. Dia menghafalnya, memahaminya, lalu menyampaikannya sebagaimana dia mendengar. Betapa banyak orang ketiga lebih paham daripada orang yang mendengar (orang kedua).’’ (HR Tirmidzi dan Abu Dawud). Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW membolehkan umatnya untuk bersikap ghibthah (iri hati positif) terhadap orang-orang pemilik ilmu dan hikmah.
Sikap haus mencari ilmu atau iri terhadap orang-orang berilmu telah dicontohkan oleh generasi para sahabat, para tabiin dan setelahnya sehingga sejarah kemudian mencatat tokoh-tokoh besar seperti Imam Malik, Imam Syafii, Ibnu Sina, Ibnu Rushdi, Ar-Razi, Ibnu Haitam, Ibnu Jabar, Ibnu Batutah, Al-Khararizmi, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qayyim. Pada era berikutnya kita kenal nama-nama seperti Al-Maududi, Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Jamaluddin Al-Afghani, Abdul Wahab, Hasan Al-Banna, Sayid Qutub, dan Yusuf Qardhawi. Di Indonesia sendiri kita sudah mengenal nama-nama aktivis seperti HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim (SI), Ahmad Dahlan dan HAMKA (Muhammadiyah), Ahmad Hassan (Persis), Hasyim Asyhari (NU), Ahmad Syurkati (Al-Irsyad) dan lain-lain. Mereka sesungguhnya adalah tokoh-tokoh yang membangun gerakan Islam lewat jalur pendidikan. Mereka adalah dai sekaligus guru teladan.
Menghadapi tantangan masa depan yang lebih rumit dan kompleks, bangsa dan negara Indonesia membutuhkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, punya kompetensi memadai untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa-bangsa lain. Sumber daya manusia berkualitas bisa dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Salah satu faktor pendukungnya adalah tersedianya para pendidik (guru) yang juga bermutu. Guru bermutu adalah tenaga profesional yang tidak saja mempunyai kualifikasi akademik, tetapi juga memiliki kompetensi yang memadai. Pasal 10 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam., kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Agar kompetensi dan profesionalitas guru sebagai tenaga profesional meningkat mutlak diperlukan adanya proses pendidikan, pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru. Pembinaan dan pengembangan profesi guru bisa dilakukan dengan berbagai cara serta melibatkan beragam pihak, mulai dari lembaga pemerintah, organisasi profesi, maupun perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat yang punya kepedulian bagi dunia pendidikan.
Dalam konteks ini, pelatihan guru yang diselenggarakan melalui Program CSR (Corporate Social Responsibility) Telkom dan Republika merupakan salah satu wujud nyata dari kepedulian sebuah BUMN (Telkom) dan perusahaan swasta (Republika) terhadap upaya pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru. Melalui program seperti ini, para guru mendapat wawasan dan suntikan motivasi untuk terus bergairah meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya.
Mengikuti pelatihan guru pada program CSR Telkom-Republika, penulis sendiri merasakan banyak manfaatnya. Antara lain bisa menumbuhkan rasa optimisme dan pentingnya meningkatkan wawasan dan nilai tambah dalam menekuni tugas dan profesi sebagai guru. Jika saja program-program semacam ini berjalan secara berkelanjutan dan melibatkan kerjasama-kerjasama sinergis antar banyak lembaga di tanah air, kita pantas menaruh harapan bahwa proses dan produk pendidikan kita bisa lebih baik di masa depan. Dengan pendidikan yang berkualitas, kita yakin bangsa dan negara ini bisa melahirkan generasi-generasi yang lebih cerdas yang pada gilirannya juga, Insya Allah, akan membuat kehidupan bangsa secara keseluruhan bisa lebih berkualitas.

* Siti Chaerijah Aurijah, S.Pd.
Guru SMA Negeri 1 Depok, Peserta Pelatihan Guru CSR Telkom- Republika Angkatan IX Februari 2007.



1 komentar:

azfaAZ mengatakan...

selamat berkarya....
dan terus memberikan manfaat :)